Penerbangan Jakarta-Berlin sangat membosankan. Untung ada Ririn, teman dari republika, yang juga ikut dalam program ini. Ada teman ngobrol dan diskusi waktu bingung di tempat asing.

KLM Royal Dutch, Boeing 747-400, yang membawa kami dari Jakarta lepas landas pukul 19.00 WIB, transit sebentar di Kuala Lumpur, dan 12 jam nonstop melayang di udara menuju Amsterdam. Di Bandara Schipol Amsterdam kami harus ganti pesawat, kali ini Foker 100. Penerbangan Amsterdam – Berlin sekitar 1,5 jam. Kami mendarat di Bandara Tegel, Berlin sekitar pukul 09.30 waktu setempat atau pukul 15.30 WIB. Jadi, total waktu perjalanan Jakarta-Berlin adalah 20,5 jam.

Kami disambut udara musim dingin di Amsterdam. Keluar dari pesawat, meski berjalan dalam garbarata, angin dingin langsung terasa menusuk tulang. Dingin. Dingin sekali. Kami seperti berada dalam freezer raksasa.

Schipol adalah bandara besar dan mirip pusat perbelanjaan. Kami mendarat sekitar pukul 5.30 waktu setempat. Suasana masih sepi. Toko-toko banyak yang tutup. Orang-orang yang kami jumpai berbicara dalam bahasa yang tidak kami mengerti. Mereka berbicara seperti kumur-kumur. Bahasa Belanda. Tidak ada orang tersenyum. Suasana di schipol sedingin udara di luar.

Kami harus berjalan cukup jauh untuk mencari gate pesawat yang menuju Berlin. Untunglah, bandara ini sangat bersahabat. Papan petunjuk tersebar di mana-mana lengkap dengan perkiraan waktu berapa lama kami tiba di sana dengan jalan kaki.

Seharusnya saya gembira di pagi yang dingin itu. Seseorang menyapa saya dan Ririn dengan ramahnya saat kami antre untuk masuk pesawat. Tapi, sejumput cemas tiba-tiba menyelinap di hati saya.

“Helo, I am sorry. Are you participants of shortcourse held by InWent?” seorang pria kulit hitam menyapa saya dan Ririn. Ada yang janggal pada wajahnya. Gigi bagian tengahnya tanggal dan membuat mulutnya seperti memiliki jendela saat berbicara.

“Yes, we are?” jawab saya setengah terkejut.
“Aha. It’s nice to see you. I am Joseph Kafumbe from Uganda,” orang itu tertawa sambil menepuk-nepuk bahu saya.
“How could you know that we are the participants of that course?” tanya saya heran.
“From your passport. You are from Indonesia and wanna go to Berlin. Just guessing..hehehe..”

Tidak baik memang menilai orang dari kulit luarnya. Pria Afrika ini sungguh legam kulitnya. Kepalanya plontos dan bola matanya agak kemerahan. Saya hanya mengenal orang Afrika dari aneka cerita kriminal di media massa Jakarta. Cilakanya, sebelum berangkat ke Berlin seorang teman yang pernah mengikuti program yang sama mengingatkan saya untuk berhati-hati dengan orang-orang kulit hitam.

Teman saya bercerita, seorang kawannya dari Afrika tiba-tiba menghilang setelah lima belas hari di Berlin. Kawan Afrika ini sempat memohon dipinjamkan uang. Untung kawan saya itu tidak memberinya pinjaman. Usut punya usut pria Afrika itu ternyata memalsukan identitasnya demi bisa masuk Eropa jadi imigran gelap.

Saya berusaha meyakinkan diri saya bahwa Joseph bukan dari golongan itu. Orang Indonesia yang putih bersih dengan tampilan perlente pun banyak yang jadi copet di Cawang….